Apabila nafsu
tenang kepada Allah Aza wa Jala, tenang dengan mengingat-Nya, berserah diri
kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan senang karena dekat dengan-Nya, ia
dinamakan Nafsu Muthma’innah.
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata,”Al
Muthma’innah artinya yang membenarkan.”
Qatadah Radhiallahu anhu
menuturkan,”Orang mukmin ialah orang yang jiwanya tenang kepada apa yang
dijanjikan Allah.”
Pemilik nafsu
ini dalam hal cara mengetahui asma Allah Aza wa Jala dan sifat-sifat-Nya selalu
merasa tenang dengan pemberitaan dari-Nya dan dari Rasul-Nya Shalallahu
alaihiwassalam tentang diri-Nya. Kemudian ia juga merasa tenang dengan
pemberitaan-Nya mengenai apa yang akan terjadi setelah kematiannya, yaitu
berupa urusan-urusan alam barzakh dan peristiwa yang mengiringinya. Misalnya,
huru-hara kiamat, hingga seolah-olah menyaksikannya dengan jelas.
Lantas, ia
tenang terhadap ketetapan Allah Aza wa Jala. Sehingga ia pun pasrah dan ridha
dengan ketetapan-Nya, tidak marah, tidak mengadu, dan merusak keimanannya.
Karena itu, ia tidak berputus asa terhadap apa yang tidak ia peroleh dan tidak
terlalu senang terhadap apa yang telah diberikan kepadanya.
Sebab musibah yang menimpa
tersebut, sudah ditentukan sebelum ia menimpa dirinya. Bahkan sebelum ia
diciptakan. Allah Aza wa Jala berfirman :
“tidak ada
suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun : 11)
Lebih dari
satu ulama salaf mengatakan,”ia seorang hamba yang bila ditimpa musibah, ia
tahu musibah tersebut datangnya dari Allah, sehingga, orang tersebut ridha dan
menerimanya.
Ada pun tenang
kepada kebaikan ialah ketenangan dalam melaksanakan, ikhlas dan berbuat baik
terhadap perintah-Nya. Sehingga ia tidak mendahulukan kehendak hawa nafsu tahu
adat istiadat diatas perintah-Nya. Selain itu ia juga tidak akan condong pada
syubhat yang bertentangan dengan pemberitaan dari-Nya dan mengikuti syahwat
yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Bahkan, bila
ia menemui syubhat dan syahwat, ia akan dudukkan pada wilayah was-was. Yang
seandainya ia jatuh dari dari langit ke bumi, hal itu lebih ia sukai daripada
ia mendapatinya. Ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu
alaihiwassalam,”Kejelasan iman.”* Selain itu ia juga tenang menghindari
keinginan bermaksiat serta mengalihkannya menuju ketenangan dan menuju
kenikmatan taubat.
Jika jiwa
telah tentram dari perasaan ragu menuju yakin, dari kebodohan menuju ilmu, dari
kelalaian menuju zikir, dari khianat menuju taubat, dari riya’ menuju ikhlas,
dari kebohongan menuju kejujuran, dari kelemahan menuju keluwesan, dari
kekuatan ujub menuju hinanya kerendahan, dari kesombongan menuju kerendahan
diri, saat itulah ia meraih nafsu muthma’innah.
Pangkal dari semua itu ialah
kesadaran (Al-Yaqdhah) yang menghilangkan kelalaian dari hatinya, dan istana-istana
surga menyinari dirinya. Lantas ia menyeru :
“ingat wahai nafsu, ingat bantulah aku
Dengan usahamu dalam gelapnya malam
Agar pada hari kiamat kelak kau beruntung
Dengan kehidupan yang baik pada saat-saat
susah tersebut”
Lalu ia
melihat dalam cahaya kesadaran apa yang telah diciptakan untuknya dan apa yang
akan ia jumpai kelak sejak kematian hingga memasuki negeri abadi. Dalam cahaya
kesadaran tersebut, ia juga melihat betapa cepat dunia ini berakhir, sedikit
kesempatan untuk membangunnya, terbunuhnya orang-orang yang merindukan, dan
memburunya ialah pelajaran.
Kemudian ia bangkit dalam cahaya
tersebut atas arah azamnya, sembari berkata,”….Amat besar penyesalanku atas
kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah..” (Az-Zumar : 56)
Lalu ia
menyiapkan sisa-sisa usia untuk mengejar kembali semua yang terlewatkan. Ia mengaktifkan
apa yang ia pasifkan, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lalu dengan
memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin, yang jika ia terlambat, hilanglah semua
kebaikan.
Kemudian, di
dalam cahaya kesadaran tersebut, ia memperhatikan nikmat Rabb-nya. Ia melihat
dirinya tidak mampu mencegah dan menghitungnya, tidak mampu memenuhi hak nikmat
(bersyukur). Dalam cahaya kesadaran tersebut, ia melihat aib-aibnya sendirinya
dan keburukan-keburukan amalnya, kejahatannya dan keburukannya, pelanggarannya
terhadap hal-hal yang diharamkan, serta acuh dalam memenuhi hak dan kewajiban.
Dengan begitu,
jiwanya menjadi ingat dan anggota tubuhnya menjadi tunduk. Ia berjalan menuju
Allah seraya menundukkan kepala karena menyaksikan nikmat-nikmat-Nya serta
melihat kejahatan dan aib-aibnya.
Dalam cahaya
kesadaran tersebut, ia juga melihat kemuliaan dan urgensi waktu yang
dimilikinya. Waktu ialah modal kebahagiaannya. Sehingga, ia menjadi kikir dalam
menggunakannya untuk selain hal yang bisa mendekatkan diri kepada Rabb-nya.
Karena, menyia-nyiakan waktu merupakan kerugian besar yang akan disusul
penyesalan. Namun dengan memeliharanya, hal itu merupakan keberuntungan dan
kebahagiaan.
Inilah dampak positif
dan negatif kesadaran. Ia adalah titik tolak perjalanan nafsu muthma’innah
menuju Allah dan akhirat.
*HR.Muslim : II/153, Al khaman,
teksnya dari abu hurairah, ia berkata, “Nabi pernah didatangi oleh para
shahabat beliau, lalu mereka bertanya,”kami menemukan di dalam diri kami
sesuatu yang oleh salah seorang dari kami dianggap penting untuk dibicarakan,
beliau bertaanya,”Apakah kalian sudah mendapatkan hal itu? Seorang shahabat
menjawab,’’ Ya’’, Beliau bersabda, ‘’itulah kejelasan iman.’’
(Dr. Ahmad Farid, Taskiyatun Nafs, Ummul Qura,
2014;105-107)