Minggu, 11 Desember 2016

Wara'



PERHATIKAN SECARA SEKSAMA :
Perasaan takut membuahkan wara’, permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpaan dengan Allah membuahkan zuhud. Ma’rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan. Dzikir membuahkan kehidupan hati. Iman kepada takdir membuahkan tawakal. Terus-menerus memperhatikan asma wa sifat Allah membuahkan ma’rifat. Wara ’ membuahkan zuhud. Taubat dan terus-menerus mengingat Allah membuahkan cinta kepada-Nya. Ridha membuahkan syukur. Tekad yang kuat dan sabar membuahkan semua keadaan dan kedudukan yang tinggi. Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma’rifat membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Mengetahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar.
(Madarijus Shalihin)

Sabtu, 12 November 2016

NAFSU AL-MUTHMA’INNAH



Apabila nafsu tenang kepada Allah Aza wa Jala, tenang dengan mengingat-Nya, berserah diri kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan senang karena dekat dengan-Nya, ia dinamakan Nafsu Muthma’innah.
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata,”Al Muthma’innah artinya yang membenarkan.”
Qatadah Radhiallahu anhu menuturkan,”Orang mukmin ialah orang yang jiwanya tenang kepada apa yang dijanjikan Allah.”
Pemilik nafsu ini dalam hal cara mengetahui asma Allah Aza wa Jala dan sifat-sifat-Nya selalu merasa tenang dengan pemberitaan dari-Nya dan dari Rasul-Nya Shalallahu alaihiwassalam tentang diri-Nya. Kemudian ia juga merasa tenang dengan pemberitaan-Nya mengenai apa yang akan terjadi setelah kematiannya, yaitu berupa urusan-urusan alam barzakh dan peristiwa yang mengiringinya. Misalnya, huru-hara kiamat, hingga seolah-olah menyaksikannya dengan jelas.
Lantas, ia tenang terhadap ketetapan Allah Aza wa Jala. Sehingga ia pun pasrah dan ridha dengan ketetapan-Nya, tidak marah, tidak mengadu, dan merusak keimanannya. Karena itu, ia tidak berputus asa terhadap apa yang tidak ia peroleh dan tidak terlalu senang terhadap apa yang telah diberikan kepadanya.
Sebab musibah yang menimpa tersebut, sudah ditentukan sebelum ia menimpa dirinya. Bahkan sebelum ia diciptakan. Allah Aza wa Jala berfirman :
“tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun : 11)
Lebih dari satu ulama salaf mengatakan,”ia seorang hamba yang bila ditimpa musibah, ia tahu musibah tersebut datangnya dari Allah, sehingga, orang tersebut ridha dan menerimanya.
Ada pun tenang kepada kebaikan ialah ketenangan dalam melaksanakan, ikhlas dan berbuat baik terhadap perintah-Nya. Sehingga ia tidak mendahulukan kehendak hawa nafsu tahu adat istiadat diatas perintah-Nya. Selain itu ia juga tidak akan condong pada syubhat yang bertentangan dengan pemberitaan dari-Nya dan mengikuti syahwat yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Bahkan, bila ia menemui syubhat dan syahwat, ia akan dudukkan pada wilayah was-was. Yang seandainya ia jatuh dari dari langit ke bumi, hal itu lebih ia sukai daripada ia mendapatinya. Ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihiwassalam,”Kejelasan iman.”* Selain itu ia juga tenang menghindari keinginan bermaksiat serta mengalihkannya menuju ketenangan dan menuju kenikmatan taubat.
Jika jiwa telah tentram dari perasaan ragu menuju yakin, dari kebodohan menuju ilmu, dari kelalaian menuju zikir, dari khianat menuju taubat, dari riya’ menuju ikhlas, dari kebohongan menuju kejujuran, dari kelemahan menuju keluwesan, dari kekuatan ujub menuju hinanya kerendahan, dari kesombongan menuju kerendahan diri, saat itulah ia meraih nafsu muthma’innah.
Pangkal dari semua itu ialah kesadaran (Al-Yaqdhah) yang menghilangkan kelalaian dari hatinya, dan istana-istana surga menyinari dirinya. Lantas ia menyeru :
“ingat wahai nafsu, ingat bantulah aku
Dengan usahamu dalam gelapnya malam
Agar pada hari kiamat kelak kau beruntung
Dengan kehidupan yang baik pada saat-saat susah tersebut”
Lalu ia melihat dalam cahaya kesadaran apa yang telah diciptakan untuknya dan apa yang akan ia jumpai kelak sejak kematian hingga memasuki negeri abadi. Dalam cahaya kesadaran tersebut, ia juga melihat betapa cepat dunia ini berakhir, sedikit kesempatan untuk membangunnya, terbunuhnya orang-orang yang merindukan, dan memburunya ialah pelajaran.
Kemudian ia bangkit dalam cahaya tersebut atas arah azamnya, sembari berkata,”….Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah..” (Az-Zumar : 56)
Lalu ia menyiapkan sisa-sisa usia untuk mengejar kembali semua yang terlewatkan. Ia mengaktifkan apa yang ia pasifkan, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang lalu dengan memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin, yang jika ia terlambat, hilanglah semua kebaikan.
Kemudian, di dalam cahaya kesadaran tersebut, ia memperhatikan nikmat Rabb-nya. Ia melihat dirinya tidak mampu mencegah dan menghitungnya, tidak mampu memenuhi hak nikmat (bersyukur). Dalam cahaya kesadaran tersebut, ia melihat aib-aibnya sendirinya dan keburukan-keburukan amalnya, kejahatannya dan keburukannya, pelanggarannya terhadap hal-hal yang diharamkan, serta acuh dalam memenuhi hak dan kewajiban.
Dengan begitu, jiwanya menjadi ingat dan anggota tubuhnya menjadi tunduk. Ia berjalan menuju Allah seraya menundukkan kepala karena menyaksikan nikmat-nikmat-Nya serta melihat kejahatan dan aib-aibnya.
Dalam cahaya kesadaran tersebut, ia juga melihat kemuliaan dan urgensi waktu yang dimilikinya. Waktu ialah modal kebahagiaannya. Sehingga, ia menjadi kikir dalam menggunakannya untuk selain hal yang bisa mendekatkan diri kepada Rabb-nya. Karena, menyia-nyiakan waktu merupakan kerugian besar yang akan disusul penyesalan. Namun dengan memeliharanya, hal itu merupakan keberuntungan dan kebahagiaan.
Inilah dampak positif dan negatif kesadaran. Ia adalah titik tolak perjalanan nafsu muthma’innah menuju Allah dan akhirat.
*HR.Muslim : II/153, Al khaman, teksnya dari abu hurairah, ia berkata, “Nabi pernah didatangi oleh para shahabat beliau, lalu mereka bertanya,”kami menemukan di dalam diri kami sesuatu yang oleh salah seorang dari kami dianggap penting untuk dibicarakan, beliau bertaanya,”Apakah kalian sudah mendapatkan hal itu? Seorang shahabat menjawab,’’ Ya’’, Beliau bersabda, ‘’itulah kejelasan iman.’’
(Dr. Ahmad Farid, Taskiyatun Nafs, Ummul Qura, 2014;105-107)

Selasa, 08 November 2016

KEBODOHAN MENYEBABKAN KELETIHAN



Tidak mengenal jalan yang ditempuh, rintangan yang ada dijalan, serta tidak mengetahui maksud dan tujuan akan membuat seseorang keletihan selama perjalanannya. Tidak hanya itu, manfaat ataupun hasil yang diperolehnya dari perjalanan juga sangat sedikit.
Adapun orang yang seperti itu biasanya mempunyai kecenderungan sebagaimana penjelasan berikut : 
  1.  Giat mengerjakan ibadah nafilah (sunnah) namun meninggalkan ibadah fardhu (wajib)
  2. Giat beribadah dengan anggota tubuh saja, tanpa diiringi dengan amalan hati.
  3.  Giat dengan ibadah batin, tetapi dalam pelaksanaan ketaatan yang lahir tidak sesuai sunnah.
  4.  Giat bercita-cita mengerjakan suatu amal tanpa mengetahui tujuan amal tersebut.
  5.  Giat mengerjakan suatu amal tanpa menghindari dampak-dampak yang bisa merusak amalnya, baik ketika melakukannya maupun setelahnya.
  6.  Giat mengerjakan suatu amal, namun melalaikan adanya anugerah yang terdapat didalamnya, padahal, amal ibadah iu terlaksana bukan karena faktor perbuatan anggota badan saja.
  7. Giat mengerjakan amal tanpa menyadari kekurangan dirinya terkait dengan amal itu, sehingga ia terluput dari meminta ampun kepada-Nya setelah menyelesaikan.
  8. Giat melakukan suatu amal yang belum terpenuhi haknya, berupa nasehat dan berlaku baik, tetapi ia  mengira telah memenuhi kewajiban tersebut.
Hal-hal itulah yang dapat mengurangi manfaat dari amal ibadah seseorang, padahal ia telah melakukannya dengan susah payah.
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
(Fawaidul Fawaid, Ibnu Qoyyim, PIS, 2012 : 554-555)

Selasa, 01 November 2016

BERLEBIHAN DALAM BERGAUL



Berlebihan dalam bergaul merupakan penyakit kronis yang mengundang semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan melenyapkan nikmat. Betapa banyak ia menyemai permusuhan. Betapa banyak ia menyemai dendam kesumat di dalam hati yang meruntuhkan kokohnya gunung. Namun, ia sendiri (pergaulan yang berlebihan) tak bisa hilang dari hati.
Berlebihan dalam pergaulan mengakibatkan kerugian di dunia dan akhirat, hati dipenuhi asap nafas-nafas anak adam hingga menjadi hitam. Serta hati bercerai-berai, sedih, duka, lemah, dan menanggung beban yang tak sanggup ia pikul dari teman-temannya yang buruk. Selain itu, hal tersebut juga menyia-nyiakan kemaslahatan, melalaikannya dan semua persoalannya. Pikirannya terbagi dalam lembah tuntutan dan keinginan mereka. Lantas apa yang tersisa untuk Allah dan negeri Akhirat?
Inilah akibatnya, alangkah banyak cobaan yang ditempakan akibat pergaulan yang berlebihan. Anugrahnya tersendat, keteguhannya diuraikan, dan cobaan ditempakan. Bukankah kebinasaan manusia disebabkan oleh manusia (temannya)? Bukankah paman Nabi Shalallah alaihiwassalam, Abu Thalib, menjelang kematiannya celaka dikarenakan teman jahatnya?  Mereka terus berusaha mempengaruhi sampai akhirnya bisa mencegah Abu Thalib mengucapkan satu kalimat yang bisa membuatnya bahagia selamanya.
Pergaulan yang berlandaskan kasih sayang dan cinta pada kehidupan dunia dan perilaku saling menjegal antara satu dan yang lain, keberadaannya akan berubah menjadi permusuhan bila hakekatnya tersingkap. Lalu orang yang bergaul ini menggigit kedua tangannya karena menyesal. Sebagai mana firman Allah Aza Wajala :
“Dan (ingatlah) hari( ketika itu) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata,’aduhai kiranya aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrab(ku). Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan : 27-29).
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagainya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zukhruf : 67).
“Dan berkata Ibrahim,’Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain) dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.” (Al-Ankabut: 25).
Demikianlah keadaan orang-orang yang bersekutu untuk meraih sautu tujuan mereka saling menyayangi ketika masih berusaha bersama-sama mewujudkan tujuan tersebut. Bila tujuan tadi gagal diraih, akibatnya ialah penyesalan , kesedihan dan perasaan sakit. Kasih sayang yang dulu terjalin erat berubah menjadi kebencian, laknat, dan celaan sebagian terhadap sebagian yang lain tatkala tujuan tadi berubah menjadi kesedihan.
Ini sebagaimana keadaannya orang-orang yang besekongkol dalam perbuatan jahat di dunia jika mereka tertangkap dan dihukum. Mereka saling tolong menolong dan mengasihi dalam kebatilan, kasih mereka berubah menjadi kebencian dan permusuhan.
Kaidah yang bermanfaat dalam masalah pergaulan ialah hendaknya manusia bergaul dalam kebaikan. Seperti dalam shalat jumat, shalat berjamaah, hari raya, haji, mempelajari ilmu dan nasehat.
Selain itu, jauhilah mereka dalam hal kejelekan dan berlebih-lebihan dalam perkara mubah. Kalau terpaksa mempergauli mereka dalam kejelekan, sementara tidak mungkin untuk menghindar, maka berhati-hatilah, jangan sampai sepakat dengan mereka. Bersabarlah bila disakiti. Sebab ia pasti akan menyakiti jika anda tak memiliki kekuatan dan penolong.
Namun, sakit tersebut akan membuahkan kemuliaan dan cinta. Selain itu, hal tersebut akan membuahkan penghormatan dan pujian dari mereka, orang-orang mukmin dan Rabb semesta alam. Apabila dalam kejelekan, maka hal tersebut akan membuahkan kebencian, murka serta cacian dari mereka, orang-orang mukmin, dan Rabb semesta alam.
Sabar terhadap siksaan mereka lebih baik akibatnya dan lebih dan lebih terpuji tempat kembalinya. Bila terpaksa mempergauli mereka dalam perbuatan mubah yang berlebihan (jika memungkinkan) berusahalah mengubah majelis mereka menjadi majelis untuk menaati Allah. Hendaknya pula memotivasi dirinya sendiri, menguatkan hati dan jangan beralih pada jalan setan yang menghalanginya melakukan itu, yaitu munculnya perasaan dalam hati bahwa yang anda lakukan riya’, pamer ilmu, dan status dan lain sebagainya. Karena itu, mintalah pertolongan Allah dan warnailah mereka dengan kebaikan semampu anda. Namun , apabila tidak mampu tariklah hati anda dari mereka seperti menarik sehelai rambut dari adonan roti.
Jadilah ditengah-tengah mereka seperti orang yang hadir tapi tak ada, dekat tapi jauh, tidur tapi terjaga, melihat mereka tapi tak memandangnya, mendengar perkataan mereka tapi tak mendengarkannya. Sebab orang tersebut telah menarik hatinya dari mereka menuju Allah, bertasbih disekitar Arsy bersama ruh-ruh yang luhur lagi suci. Alangkah sulitnya hal ini bagi jiwa, tapi sungguh mudah bagi orang yang dimudahkan Allah.
Syaratnya, ia membenarkan Allah Aza Wajala, senantiasa berlidung kepada-Nya, dan menyimpuhkan diri dihadapanNya sembari merendah. Semua ini akan terbantu dengan cinta yang tulus, melanggengkan zikir dengan hati dan lisan, serta menjauhi perkara-perkara yang rusak.
Terkhir ia harus bergaul sesuai kebutuhan. Selain itu ketika bergaul hendaklah ia memilah manusia menjadi empat macam. Bila salah satunya bercampur dengan yang lain sementara ia tidak bisa membedakannya, maka keburukan akan menimpa. Keempat macam manusia tersebut ialah :
Pertama, orang yang dipergauli sebagaimana makanan yang dibutuhkan setiap hari. Bila kebutuhan telah tercukupi, ia tinggalkan pergaulan tersebut. Namun bila membutuhkan lagi, ia kembali mepergaulinya, begitu seterusnya. Janis pergaulan ini lebih mulia dari pada sulfat merah. Mereka ialah para ulama yang mengetahui Allah, perintah-Nya, serta tipu daya musuh-Nya, dan penyakit-penyakit hati berikut obatnya. Mereka ialah orang-orang yang memberi nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan semua makhluk-Nya. Banyak keuntungan yang didapatkan dari pergaulan dalam semacam ini.
Kedua, orang yang dipergauli sebagaimana obat yang dibutuhkan ketika sakit. Setelah sehat, anda tidak perlu lagi meminumnya. Mereka ialah orang-orang yang perlu dipergauli demi kemaslahatan hidup dan memenuhi apa yang anda perlukan. Misalnya ragam jenis interaksi, persekutuan, konsultasi, berobat, dan sebagainya. Jika kebutuhan anda telah terpenuhi dengan pergaulan semacam ini, anda tinggal mempergauli orang macam
Ketiga, orang yang dipergauli sebagaimana penyakit dengan ragam jenis tingkatan kekuatan dan kelemahannya. Diantara orang macam ini, ada yang dipergauli seperti penyakit kronis dan ada pula yang seperti penyakit manahun. Itulah orang yang tidak menguntungkan anda, baik segi agama maupun dunia. Karena itu, anda pasti rugi dalam segi agama dan dunia salah satunya. Sementara kalau terus bergaul dengannya, ia akan menjadi penyakit mematikan yang menakutkan.
Adapula yang dipergauli seperti penyakit gigi geraham yang sangat menyakitkan jika penyakit tersebut hilang, redalah rasa sakitnya.
Adapula yang harus dipergauli seperti orang yang sangat bodoh. Tidak baik bila bicara sehingga diambil manfaatnya. Sebaliknya, tidak baik bila diam sehingga ia mengambil manfaat darimu. Selain itu ia tidak tahu posisi akan dirinya.
Bahkan, bila berbicara sangat menohok hati. Ia kagum dan senang dengan kata-katanya. Sementara  jika diam, hal itu lebih berat daripada baling-baling besar yang tak mampu dibawa dan ditarik diatas tanah. Intinya bergaul dengan orang yang tak terjangkiti kebodohan ialah sebuah keharusan.
Keempat, orang yang jika dipergauli menyebabkan kerusakan. Bergaul dengan orang macam ini, tak ubahnya seperti makan racun. Kalau racun tersebut cocok bagi orang yang memakannnya, hal itu sebagai penawar. Namun , kalau tidak, belasungkawa untuknya. Orang seperti ini amat banyak(semoga Allah tidak memperbanyak mereka) . Mereka ialah pelaku bid’ah, sesat, dan menolak sunnah Rasulullah shalallah alaihiwassalam, tetapi mengajak kepada selainnya.
Disarikan dari Taskiyatun Nafs Dr. Ahmad farid (Ummul Qura, 2014;58-61)

Senin, 31 Oktober 2016

LEZATNYA BERIBADAH DENGAN IKHLAS HANYA KARENA ALLAH

Penyebab utama hati beribadah kepada selain Allah adalah karena ia berpaling dari Allah, sebab jika hati telah merasakan lezatnya beribadah kepada Allah dan ikhlas karena-Nya, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih manis (Lebih lezat dan lebih baik) baginya melebihi ibadah tersebut, karena seorang manusia tidak akan meninggalkan kekasihnya melainkan karena adanya kekasih lain yang lebih ia cintai, atau karena takut dari hal yang tidak ia senangi.
Firman Allah Ta’ala berkaitan dengan Nabi Yusuf Alaihissalam,
Demikianlah,kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya, dia (Yusuf), termasuk hamba Kami yang terpilih. (QS.Yusuf : 24).”
                Allah memalingkan hamba-Nya  dari apa saja yang dapat membahayakannya, seperti kecenderungan kepada berhala-berhala dan tergantung dengannya, dan Dia memalingkannya dari perbuatan keji karena keikhlasannya kepada Allah.
Berdasarkan hal inilah, maka sebelum merasakan manisnya beribadah kepada Allah dan ikhlas karena-Nya, terlebih dahulu seseorang harus mengalahkan jiwanya untuk tidak mengikuti hawa nafsunya, karena jika dia telah merasakan lezatnya keikhlasan dan hal itu sudah kuat terhujam di dalam hatinya , maka nafsunya akan tunduk dengan mudah.
Firman Allah Ta’ala,
 
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain) (QS Al Ankabut :45)
Shalat dapat menolak sesuatu yang tidak disukai seperti perbuatan keji dan munkar, dan di dalamnya kita akan mendapatkan hal yang sangat dicintai, yaitu berdzikir kepada Allah dan adanya yang dicintai ini lebih besar dari pada menolak hal yang tidak disukai.
Sesungguhnya mengingat Allah merupakan suatu bentuk ibadah. Ibadah hati hanya milik Allah dan Dia juga berkehendak untuk membolak-balikkan hati manusia. Memurnikan ibadah dengan niat yang ikhlas adalah sesuatu yang dikendaki-Nya.
Para syeikh yang shalih Radhiyallahhu anhum, menyebutkan pentingnya memurnikan tauhid serta ikhlas dalam beragama secara keseluruhan, dimana seorang hamba tidak menoleh kepada selain Allah, tidak bergantung, tidak mencintai, tidak takut, dan tidak berharap selain kepada-Nya, disertai hati yang bersih dari segala pengaruh makhluk. Ia tidak memandang kepadanya melainkan dengan nur(cahaya) Allah, maka dengan kebenaranlah ia mendengar, ia melihat, ia mencium, dan ia berjalan. Ia mencintai darinya apa yang dicintai oleh Allah dan membenci darinya apa yang dibenci oleh-Nya. Loyal kepada apa yang disukai Allah dan memusuhi apa yang dimusuhi oleh Allah. Ia hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada selain-Nya. Inilah hati yang bersih, lurus, bertauhid, tunduk, mukmin, mengenal Allah, merealisasikan, bertauhid berdasarkan pengetahuan para Nabi dan Rasul dan hakekat serta tauhid mereka. Maka selama seorang hamba merealisasikan ikhlas dalam ucapan “Laa ilaaha illallah”, maka keluarlah dari hatinya segala penghambaan terhadap apa yang dicintai oleh hawa nafsunya dn berpalinglah dari dirinya berbagai maksiat dan dosa, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

Demikianlah,kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya, dia (Yusuf), termasuk hamba Kami yang terpilih. (QS.Yusuf : 24).”
Allah menerangkan penyebab dipalingkannya keburukan dan kekejian dari dirinya, yaitu karena dia termasuk hamba Allah yang ikhlas, dan mereka itulah yang disebut dalam firman-Nya,
 
Sesungguhnya kamu (Iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku.” (QS. Al-Hijr : 42)
Setan berkata sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih diantara mereka.” (QS. Shaad: 82-83)
Ditegaskan dalam sebuah hadist shahih, Rasulullah Shalallahu alaihiwassalam bersabda yang artinya,
“Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, secara ikhlas dari hatinya Allah mengharamkan baginya api neraka.” (H.R Ahmad, Ad daraquthni, Ath Thabrani dan Abu Nuaim)
Ikhlas (kalimat tauhid) akan menepis semua sebab-sebab yang dapat memasukkan seseorang kedalam neraka. Barang siapa yang mengucapkan “Laa ilaaha illallah” (tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan hanya Alla)  lantas masuk neraka, berarti ia tidak merealisasikan ikhlas yang dapat mengharamkannya masuk neraka. Di dalam hantinya masih terdapat syirik yang menjerumuskannya masuk neraka karena syirik yang terdapat pada umat (islam) ini lebih samar dari pada semut merayap. Oleh karenanya, setiap hamba diperintahkan dalam setiap shalatnya mengucapkan,
 

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. Al-Fatihah : 5)
Sementara setan menyuruh kepada syirik dan nafsu pun menurutinya sehingga nafsu tersebut senantiasa berpaling kepada selain Allah. Apakah karena dai takut darinya atau karena dia mengharap kepadanya, maka seorang hamba dituntut membersihkan tauhidnya dari segala macam kotoran syirik. Dalam sebuah hadist Nabi Shalallahu alaihi wassalam bersabda yang artinya,
“setan berkata, saya membinasakan manusia dengan dosa, tetapi mereka membinasakannku dengan Laa ilaaha illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah) dan istighfar (mohon ampun), maka tatkala aku melihat hal itu, aku sebarkan dikalangan mereka hawa nafsu maka mereka melakukan dosa dan tidak memohon ampun, karena mereka menyangka bahwa mereka berbuat kebaikan.” (HR. Abu Ya’la)
Pemuja nafsu yang memperturutkan hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah akan mendapat bagian seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (Tuhan), maka di dalam dirinya terdapat kemusyrikan yang menghalanginnya dari istighfar. Adapun orang yang merealisasikan tauhid dan istighfar, maka kejahatan pasti diangkat darinya, oleh karena itu Dzu An-Nun (Nabi Yunus) berkata,


Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiya’ : 87)
(dari : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tazkiyanun Nasf, Darus sunah, 2016 : 46-50)